Thursday, November 24, 2011

Pembahasan jurnal: Kurikulum Berdiferensiasi untuk Siswa Berbakat

Jurnal internasional: Fostering Autonomous Learners Through Levels of Differentiation

Jurnal ini menekankan tentang pentingnya kurikulum berdiferensiasi untuk anak berbakat. Dr. Betts mengemukakan tiga level kurikulum yaitu: (1) Prescribed Curriculum and Instruction, (2) Teacher-Differentiated Curriculum, dan (3) Learner-Differentiated Curriculum.

Level  pertama, prescribed curriculum and instruction adalah kurikulum yang dikembangkan oleh stardard lokal dan tidak menyediakan kesempatan untuk strategi belajar yang cocok untuk siswa berbakat.

Pada level kedua, teacher-differentiated curriculum, guru memodifikasi kurikulum yang telah ada menjadi kurikulum yang menarik dan menantang untuk siswa berbakat. Disini, murid tidak hanya dipandang sebagai seorang ‘murid’ saja, tetapi murid adalah pembelajar aktif.

Level ketiga, learner-differentiated curriculum, adalah level tertinggi dimana murid berbakat dianggap sebagai “producers of knowledge”, bukan hanya “consumers of knowledge”. Level ini mendukung perkembangan self-discovery, self-esteem, kreativitas, dan otonomi. Selain perkembangan kognitif, pada level ini jug mengembangkan faktor sosial dan emosional murid.




Jurnal internasional: Myth 7: Differentiation in the Regular Classroom Is Equivalent to Gifted Programs and Is Sufficient

Anak berbakat tidak bisa hanya mengikuti kurikulum biasa. Mereka membutuhkan kurikulum yang berdiferensiasi agar mereka dapat mengembangkan bakat mereka. Kelas seharusnya menjadi tempat bagi guru untuk menggali dan mengasah bakat yang ada pada semua murid. Kebanyakan guru tidak menetapkan kurikulum berdiferensiasi karena memerlukan proses yang lebih lama dan waktu yang lebih panjang.

Kasus yang terjadi yaitu kesalahpahaman oleh guru mengenai diferensiasi ini. Murid berbakat dimasukkan dalam kelompok regular, dianggap bahwa mereka harus dapat membantu anak regular lainnya dan memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik. Guru menggunakan murid berbakat untuk membantu pekerjaan mereka. Akibatnya, murid berbakat malah akan merasa tidak menarik dan tidak tertantang dengan cara belajar seperti ini. Training untuk guru sebenarnya sangat diperlukan agar mereka dapat mengerti kurikulum yang berdiferensiasi ini dan dapat menetapkannya dengan benar untuk murid-murid berbakat.
 
Kesimpulan:

Anak berbakat memerlukan kurikulum yang berdiferensiasi agar mereka dapat mengembangkan bakat mereka seluas-luasnya dan tidak menjadi underachiever. Kurikulum yang sesuai dengan tingkatan anak berbakat akan memberikan rasa kepuasan dan tantangan bagi mereka sehingga mereka tidak merasa bosan di sekolah. Guru yang akan mengajar anak berbakat juga harus diberikan pelatihan mengenai kurikulum yang berdiferensiasi agar mereka dapat menerapkannya dengan baik untuk anak berbakat.

*jurnal yang diambil keduanya jurnal internasional karena ditemui kesulitan dalam mencari jurnal nasional yang berkaitan dengan topik*

Thursday, November 17, 2011

Testimonial for Today’s Class

Seperti biasa, mata kuliah kreativitas memang lain dari yang lain. Selalu saja ada hal-hal yang tidak dapat ditebak. Hari ini ada empat kakak dari program Magister yang menemani kuliah kami. Diawali dengan rasa deg-deg-an karena takut dipanggil maju untuk memberikan performa kelompok, kelas kreativitas hari ini berakhir dengan ‘amazing’..
Setelah salah satu kelompok selesai memberikan performanya di awal, kuliah dilanjutkan oleh kakak-kakak dari program Magister ini. Kami diminta untuk mengambil satu kertas origami, yang nantinya orang-orang yang mendapatkan warna origami yang sama akan menjadi satu kelompok. Aku mendapatkan origami yang berwarna kuning, sekelompok dengna Christin dan Irun. Dari sini, aku mempelajari satu hal, yaitu: cara membagi kelompok yang kreatif berdasarkan warna origami.
Selanjutnya, tiap kelompok diminta untuk menghasilkan suatu karya kreatif dari origami tersebut, dan menjelaskan proses pengerjaannya dengan dua model belajar mengajar kreatif. Awalnya kami sangat bingung karya apa yang harus dihasilkan, waktu yang diberikan pun sangat terbatas, hanya 15 menit. Akhirnya kelompok kami membuat orang-orangan cewek yang mengenakan pita.
Sewaktu salah satu kakak mengevaluasi kinerja kami dengan mengatakan secara to-the-point bahwa performa kami kurang baik, ada terbersit dalam pikiranku, “lho, kakak ini kok tega banget langsung ngatain seperti itu”, padahal biasanya orang yang bergelut di bidang pendidikan, apalagi sudah sampai mengambil program Magister, tidak seharusnya mengatakan kata-kata yang mematahkan semangat orang lain. Tapi tunggu sebentar, ntah kenapa muncul lagi pemikiran lain dalam benakku, “mungkinkah kakak ini hanya sengaja mengetes kami?” Ternyata dugaanku benar.. :D  Apalagi salah satu dosen pengampu mereka adalah Bu Dina, yang selalu memberikan kata-kata motivasi yang membangun, rasanya tidak mungkin aja cara mereka mengajar berbeda jauh dengan pengajarnya. Pelajaran kedua yang dapat kupetik yaitu: “Posisikanlah bagaimana perasaan kita ketika dipatahkan semangat oleh orang lain, maka kita juga tidak boleh melakukan hal yang serupa terhadap orang lain.”
Sebelum kuliah ditutup, kami diberi kesempatan untuk memainkan suatu permainan yaitu meng-estafetkan karet dengan pipet (*pipet dimasukkan ke dalam mulut, tangan tidak boleh menyentuh pipet). Permainan ini melatih kehati-hatian, ketangkasan, kecepatan, kekompakan, dan menentukan strategi bagaimana yang harus digunakan agar karet dapat dipindahkan dengan mudah. Terakhir, kami juga diberi souvenir yang dibungkus dengan desain yang kreatif pula. Thx buat kakak-kakak yang sudah masuk ke kelas kami.. Thx jug kepada Bu Dina yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mempelajari hal-hal baru lainnya.. J