Monday, March 14, 2011

Tes Inteligensi & Teori Triakis Sternberg

Anda pasti sudah sering mendengar tentang istilah IQ bukan? Tingkat inteligensi seseorang dapat diukur dengan mengikuti serangkaian tes. Tes inteligensi pertama kali dibuat oleh Alfred Binet dan mahasiswanya, Theophile Simon. Nama tes itu disebut Skala 1905. Kemudian pada tahun 1912, William Stern menciptakan konsep intelligence quotient (IQ), dengan rumus:
IQ=MA/CA x 100 
MA (mental age) yaitu level perkembangan mental individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Sedangkan CA(chronological age) yaitu usia kronologis seseorang. Jika usia mental seseorang adalah 13 dan CA-nya 11, maka IQ-nya adalah 118.
Tes lain yang juga sering digunakan dalam mengukur intelegensi adalah Skala Wechsler. Selain dapat mengukur IQ secara keseluruhan, skala Wechsler juga dapat menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja.
Teori Triarkis Sternberg
Robert J. Sternberg mengemukakan teori inteligensi triarkis, yang menyatakan bahwa inteligensi muncul dalam bentuk analitis, kreatif, dan praktis.
·         Inteligensi analitis: kemampuan untuk menganalisis, menilai, mengevaluasi, membandingkan, dan mempertentangkan.
·         Inteligensi kreatif: kemampuan untuk mencipta, mendesain, menemukan, dan mengimajinasikan.
·         Inteligensi praktis: focus pada kemampuan untuk menggunakan, mengaplikasikan, dan mempraktikkan.
Aku masih ingat ketika masih SD, ada teman sekelasku yang sangat cerewet dan bandel. Dia juga tidak mendapatkan prestasi yang bagus di sekolah. Setelah sekian lama tidak bertemu, suatu hari kami berpas-pasan di sebuah supermarket. Aku sedikit terkejut karena gayanya sungguh berbeda dengan yang dulu. Ternyata sekarang ia telah menjadi salah seorang kepala bagian di suatu perusahaan terkenal. Dari kasus ini, kita dapat melihat bahwa sebenarnya temanku walaupun inteligensi analitisnya rendah, tetapi ia mempunyai inteligensi kreatif dan inteligensi praktis yang tinggi, sehingga sekarang ia telah menjadi seseorang yang sukses.


Santrock, J.W. 2010. Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua Cetakan ke-3). Jakarta: Prenada Media Group

Tuesday, March 8, 2011

Proses Kognitif dan Motivasi

Hari ini kami dikenalkan dengan Johari Windows. Johari Windows memiliki 2 komponen yaitu saya dan orang lain, tahu dan tidak tahu. Bila saya tahu dan orang lain tahu, maka disebut juga “terbuka”. Bila saya tahu dan orang lain tidak tahu, disebut “rahasia”. Jika saya tidak tahu dan orang lain tahu, disebut “buta”. Jika saya tidak tahu dan orang lain juga tidak tahu, maka disebut dengan “misteri”.
Kami diberi tugas oleh Bu Dina untuk “lebih mengenal” diri sendiri melalui sudut pandang orang lain. Jika dalam 1 kelompok terdiri dari tiga orang (mis: A, B & C), A dan B orang akan mengungkapkan sisi positif dan negatif dari C. Kemudian A dan C akan mengungkapkan sisi positif dan negatif dari B, dan terakhir, B dan C mengungkapkan sisi positif dan negatif dari A. Setelah itu, kami harus membahas pandangan dari anggota lain terhadap diri sendiri, apakah kita sendiri bisa menerima ataupun menyangkalnya. Melalui diskusi seperti ini, kita menjadi lebih bisa mengenal diri sendiri, dan mengetahui bagaimana penilaian orang lain terhadap kita. Saat berdiskusi sebenarnya juga sedang terjadi proses kognitif di dalam diri masing-masing.
Proses kognitif ialah perubahan dalam pemikiran, kecerdasan, dan bahasa. Menurut Vygotsky, ada tiga pandangan mengenai kognitif, yaitu:
1.       Keahlian kognitif dapat dipahami bila dianalisis dan diinterpretasikan secara developmental (memahami fungsi kognitif dengan memeriksa asal usulnya dan transformasinya dari bentuk awal ke bentuk selanjutnya.)
2.       Kemampuan kognitif dengan perantara kata, bahasa, yang membantu mengtransformasi aktivitas mental.
3.       Kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural. (Santrock, 2004)
Dalam pembahasan yang dilakukan kelompok kami, kami telah menggunakan kognisi  untuk berpikir dan menganalisa apa-apa saja sifat positif dan negatif yang dimiliki oleh masing-masing anggota, setelah itu diinterpretasikan dengan cara membahasnya bersama. Saat membahas, tentu saja ada bahasa sebagai perantaranya sehingga aktivitas mental kita dapat tersalurkan keluar. Vygotsky juga memandang bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh situasi sosial di sekitar kita, proses kognitif dalam diri kita dapat didistribusikan keluar ketika ada stimulasi dari lingkungan kita.
                Stimulasi lain yang mendorong kami melakukannya yaitu motivasi. Motivasi ialah proses yang memberi semangat, arah , dan kegigihan prilaku. Prilaku yang termotivasi yaitu  prilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2004). Seseorang dapat termotivasi bila ia mempunyai tujuan, ataupun sesuatu yang ingin didapat / dicapai. Kami melakukan diskusi karena termotivasi oleh rasa ingin tahu kita terhadap apa pandangan orang lain kepada diri sendiri, mengetahui sejauh mana kami menerima dan menyangkal pandangan orang lain, mendalami teori-teori kognisi dan motivasi dengan membahasnya, dan yang terpenting yaitu berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen kami, Bu Dina. :)

Monday, March 7, 2011

Pembelajaran Melalui Operant Conditioning

Prilaku anak-anak biasanya dipelajari dari lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Lalu dengan cara apakah mereka mempelajarinya dan bagaimana mereka menghubungkan pengalaman dan prilaku? Pendekatan behavioris menjelaskan ada dua penkondisian, yaitu classical conditioning dan operant conditioning. Berikut yang akan dibahas yaitu operant conditioning atau "pengkondisian operan".
Operant Conditioning adalah bentuk belajar melalui konsekuensi yang diterima sehingga mempengaruhi  frekuensi kemunculannya.  Tokoh yang melakukan penelitian ini adalah E.L. Thorndike dan B.F. Skinner.
Tiga pembagian operant conditioning berdasarkan konsekuensi, yang mempengaruhi prilaku pada masa yang akan datang:
1.      Positive reinforcement, yaitu penguatan positif berupa peningkatan kemunculan prilaku. Contoh: anak-anak yang bisa makan sendiri diberi pujian, lalu ia akan semakin sering untuk makan sendiri, tidak lagi disuapi. Di sini, pujian adalah konsekuesi (penguatan positif) yang diterima anak, dan frekuensi ‘makan sendiri’ akan semakin sering muncul.
Dua hal yang harus diperhatikan saat memberi penguatan positif:
a.       Timing (waktu yang tepat)
b.      Consistency in the delivery of reinforcement (konsisten dalam memberi penguatan)
2.      Negative reinforcement, yaitu penguatan prilaku yang menyebabkan hal yang tidakdiinginkan semakin berkurang atau tidak ada sama sekali. Contoh: seorang manager yang bertindak tegas terhadap bawahannya yang sering tidak masuk kerja. Tindakan tegas ini membuat karyawan tersebut tidak berani untuk sering absen lagi.
3.      Punishment, yaitu memberikan hukuman (konsekuensi negatif) terhadap suatu prilaku, sehingga prilaku itu berkurang atau hilang. Contoh: murid yang tidak mengerjakan tugas akan dihukum, kemudian ia akan takut untuk tidak mengerjakan tugas lagi.
Sumber:
Santrock, J.W. 2010. Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua Cetakan ke-3). Jakarta: Prenada Media Group
Lahey,Benjamin B. 2007. Psychology an introduction. New York: The McGraw Hill Companies, Inc.